Istilah “Kristen Progresif” sukses menarik perhatian banyak pihak. Di satu sisi, ada yang bereaksi “Wuih, keren nih pemikiran yang disampaikan! Out of the box! ‘Ga nyangka, ternyata kekristenan ‘ga sekolot itu!” Di sisi lain, banyak juga yang merasa kecolongan. “Astaga, ‘ga bisa kalau begini, sesat ini! Waduh, ini bukan kekristenan sejati! Ayo, segera bertindak, lawan pemikiran kayak ‘gini!”. Bagi yang kecolongan, mereka seperti mendapat pukulan telak. Apalagi pandangan ini tampil di media sosial dengan cara kekinian, dan mendapat banyak sambutan.

Jebakan Kata “Progresif”

Ide progresif memang menarik untuk dicermati, apalagi jika disandingkan dengan konservatif atau regresif. Progresif berarti ke arah kemajuan, konservatif bernuansa jalan di tempat, sedangkan regresif bersifat mundur. Siapa yang tidak ingin ketinggalan kereta yang berjalan maju? Analogi seperti itulah yang ditawarkan kata progresif.

Tidak mudah menilai pemikiran Kristen Progresif (selanjutnya disingkat KP) hanya dengan melihat kata progresif. Jika kata ini diartikan sebagai beranjak dari kebiasaan lama yang dianggap kurang tepat, Yesus pun adalah sosok yang progresif. Kalimat yang Ia ucapkan, “Kamu telah mendengar…, tetapi Aku berkata kepadamu…” menandai Ia adalah sosok yang mengubah kebiasaan atau pemikiran sebelumnya. Pengajaran-pengajaran-Nya banyak berbeda dengan kebiasaan ajek, yang membuat Ia banyak bersitegang dengan para tokoh agama pada masa itu.

Lahirnya Kristen Protestan juga merupakan reaksi dari pengajaran dan kebiasaan yang telah berlangsung pada ajaran kekristenan sebelumnya. Sikap kritis dan pemikiran para tokoh reformasi mendobrak pola pikir dan kebiasaan kekristenan pada waktu itu. Sejarah mencatat munculnya suatu cabang besar dari sebuah pengajaran yang telah mapan pada masa tersebut.

Bagaimana dengan ragam pandangan tentang tubuh dan darah Yesus dalam perjamuan kudus, yang dikenal dengan transubstansiasi, konsubstansiasi, atau memorialisme? Pandangan yang berikutnya lahir karena tidak sepakat dengan pandangan sebelumnya. Bagaimana dengan baptisan anak? Ternyata tidak semua gereja sepakat tentang kapan anak perlu dibaptis. Rentang perbedaan pendapat tersaji, mulai dari bayi, sampai setelah pribadi tersebut mampu menyatakan keyakinannya secara mandiri.

Hal-hal ini adalah contoh ajaran dalam Kekristenan yang lahir karena mengkritisi paham yang sebelumnya sudah ada. Progresivitas adalah bagian tidak terpisahkan dalam kekristenan. Karenanya, jangan terjebak dengan label KP sebagai gerakan yang mewadahi seluruh perkembangan kekristenan dari dulu sampai sekarang.

KP dan Alkitab

Beberapa ide KP dianggap tidak sejalan dengan Kekristenan arus utama. Misalnya, topik keselamatan. Apakah Yesus satu-satunya jalan untuk mendapatkan keselamatan, atau ada jalan lain? Apakah keselamatan itu merupakan usaha aktif manusia untuk mendapat perkenan Tuhan, kombinasi usaha aktif manusia dan tawaran aktif Tuhan, atau Tuhan yang aktif dan manusia pasif menerima pilihan Tuhan? Demikian juga tentang cakupan keselamatan dalam hubungan antara manusia dan Tuhan, apakah bersifat eksklusif, inklusif, atau pluralis?
Tulisan ini tidak membahas setiap pemikiran atas hal-hal yang diklaim sebagai gagasan KP. Selain karena tempat yang membatasi, tulisan ini lebih bersifat reflektif terhadap fenomena KP.

Hal-hal yang diajukan KP, dan yang ditanggapi oleh kelompok lainnya, ternyata sama-sama menjadikan Alkitab sebagai dasarnya. Alkitab, yang sudah melalui proses kanonisasi dan disetujui bersama sebagai pegangan hidup umat Kristen, melahirkan berbagai pandangan. Ragam pandangan yang berbeda-beda itulah yang menciptakan banyak aliran dalam kekristenan, termasuk pasca-era reformasi di tahun 1500-an.

Ragam pandangan yang berbeda ini ada yang membawa kebaikan bagi dunia. Misalnya, etos kerja yang menghasilkan penemuan-penemuan yang mempermudah hidup. Namun, ada juga yang menghasilkan penindasan, pertumpahan darah, dan kerusakan alam. Hal-hal yang membawa kebaikan maupun keburukan terjadi karena hasil membaca Alkitab. Cara membaca Alkitab yang berbeda, yang kemudian menghasilkan keragaman pandangan, oleh si pembacanya sering diterjemahkan sebagai perintah Tuhan yang harus dituruti.

Melihat sejarah, keragaman cara membaca Alkitab serta perbedaan hasil tafsirnya ternyata bukan hal baru dalam kekristenan. KP, dengan caranya menafsir Alkitab, seperti mengulang lagi ragam tafsir yang pernah ada dalam sejarah kekristenan.
Tentang keragaman tafsir dan proses yang terlibat, hal ini sejatinya tidak lepas dari sebuah rangkaian yang dikenal sebagai Lingkaran Hermeneutika.

Lingkaran Hermeneutika

Proses memahami, tidak memahami dan kemudian memahami lagi adalah jamak dalam upaya memahami sesuatu. Memahami Alkitab pun tidak terkecuali. Proses ini dikenal dengan Hermeneutika. Acara-acara pemahaman Alkitab yang sering digulirkan di banyak pembinaan gereja adalah hasil dari proses tersebut. Hermeneutika, secara sederhana adalah memahami proses menafsir, yang terjadi ketika pembaca menafsir. Pemahaman pembaca terhadap suatu teks bukanlah proses yang linear atau sederhana, tetapi sebuah proses yang kompleks. Proses ini dipengaruhi banyak hal, misalnya budaya atau pra-paham si pembaca. Pemahaman terhadap suatu teks pun bisa berubah atau diperbaiki seiring dengan waktu. Prosesnya berbentuk seperti lingkaran. Inilah sebabnya proses ini dikenal sebagai Lingkaran Hermeneutika.

Walaupun tidak sama, salah satu konsep manajemen atau pengembangan diri yang dikenal dengan “learn, unlearn, dan relearn” menggambarkan secara sederhana apa itu Lingkaran Hermeneutika. Proses ini berlangsung dalam sebuah lingkaran, yang idealnya dilakukan tanpa henti. Jika terjadi dengan baik, harapannya, proses akan semakin baik dan rapi, sehingga timbul hasil yang semakin baik pula.

Memahami Lingkaran Hermeneutika yang terjadi dalam diri seseorang dapat memberi lensa yang lebih jernih melihat fenomena yang terjadi di sekitar. Apalagi, jika seorang pembaca mampu berefleksi di mana posisi dirinya atau orang lain dalam sebuah proses Lingkaran Hermeneutika membaca Alkitab. Pembaca akan terbantu menyadari posisi dirinya di tengah keberbagaian cara membaca Alkitab dan tafsirannya. Media sosial yang berevolusi, dari berbasis kertas menjadi audio-visual yang dapat digenggam di tangan dan diakses setiap saat, membuat gemuruh keragaman hasil pembacaan Alkitab terasa bising.

Palsu atau Asli

Kebisingan itu seperti kisah dalam sebuah film lawas Catch Me If You Can (2002). Dengan tokoh Frank Abagnale (Leonardo DiCaprio) sebagai pemalsu cek, dan Carl Hanratty (Tom Hanks) sebagai Agen FBI, film ini menceritakan kisah sulitnya menangkap Frank. Ia bagai belut licin karena kepiawaiannya memahami cek asli. Petugas, yang berusaha memahami pola-pola cek palsu yang dibuat Frank, selalu tertinggal di belakang. Kemampuan Frank memahami cek asli menjadikannya selalu selangkah di depan para petugas. Setelah berhasil ditangkap, Frank direkrut untuk membuat cek asli yang sulit dipalsukan. Kabarnya, film ini diangkat dari sebuah kisah nyata.

Ramainya tanggapan terhadap KP mirip seperti gaduhnya aparat di film tersebut, yang sibuk mengecek cek palsu. Banyak orang justru ingin tahu hal-hal apa yang diajarkan oleh KP, dan kemudian membandingkan dengan apa yang dipercayainya. Ketika melakukan hal tersebut, barulah seseorang menyadari, ia tidak memiliki bahan yang cukup untuk membandingkan atau menyanggah pemikiran KP. Ternyata, pemahaman yang dimilikinya belum cukup untuk memahami pola KP membaca Alkitab.

Padahal, jika berkaca dari sejarah, fenomena KP dan ajarannya bukanlah barang baru. Pemikiran yang disampaikan sudah menjadi bahan perdebatan sejak lama. Misalnya, pertanyaan apakah Yesus satu-satunya jalan atau hanya salah satu jalan, sudah menjadi topik dalam sejarah Kekristenan. Demikian juga soal cakupan keselamatan dalam hubungan antara manusia dan Tuhan, apakah bersifat eksklusif, inklusif, atau pluralis.

Topik-topik tersebut tampil lagi dengan kemasan kekinian, sejalan dengan evolusi media sosial. Ditambah dengan kemudahan mengemas hal-hal tersebut dalam sajian audio-visual yang menarik, cara-cara mengajar dan belajar selama ini perlahan bergeser. Pengajaran bukan lagi bertumpu pada suatu otoritas tertentu, seperti pada masa sebelumnya. Mesin pencari berbasis kecerdasan artifisial membuat banyak orang mendapat kesempatan menjadi pembelajar sekaligus pengajar. Perkembangan ini memungkinkan banyak orang seperti mendapatkan pancing sekaligus keterampilan memakainya.

Berikan Pancing

Bagi anggota komunitas iman (seperti gereja), adanya KP dapat menjadi cermin untuk melihat apa yang menjadi landasan hidup selama ini. Jika belum dapat menilai gagasan yang disajikan KP, bisa jadi memang para anggota tersebut belum memiliki dasar yang cukup, atau belum memiliki alat yang cukup untuk menilai.

Gemuruh KP ini juga menjadi undangan bagi pemimpin komunitas iman untuk meninjau ulang cara merawat dan membina anggotanya. Jika KP berhasil menarik minat banyak orang, pemimpin komunitas iman dapat meninjau ulang isi dan kemasan yang selama ini dipakai untuk merawat domba-dombanya. Misalnya, apakah hanya bersandar pada model khotbah, renungan, atau tulisan yang isi dan tata letaknya tidak menarik (seperti tulisan ini).

Model merawat seperti ini seperti memberikan ikan, bukan pancing. Anggota komunitas membutuhkan alat dan keterampilan mengolah fenomena yang terjadi di sekitarnya. Salah satu cara cepat mengecek seberapa serius sebuah komunitas iman merawat anggotanya adalah melihat aliran anggaran. Perkataan “…di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” dapat menjadi cermin awal mengecek prioritas. Seperti kehidupan sehari-hari, pengeluaran dapat menunjukkan prioritas seseorang atau suatu komunitas. Misalnya, melihat proporsi yang pernah dikeluarkan antara pengeluaran untuk pembangunan iman dan karakter dengan jenis-jenis pengeluaran lainnya. Setiap unsur pengeluaran dapat diberikan bobot sesuai visi komunitas tersebut. Analisa jitu dan mendalam terhadap korelasi setiap bobot akan membantu suatu komunitas mengupayakan tersedianya alat pancing serta keterampilan menggunakannya.

Memberikan pancing dan mengajarkan cara memancing memang bukan upaya mudah. Banyak waktu, tenaga, dan uang akan terlibat. Jika hal-hal tersebut dapat terserap dengan baik, anggota komunitas iman dapat memahami fenomena yang terjadi di sekitarnya. Pancing dan keterampilan memancing akan memampukan komunitas iman menyikapi fenomena seperti KP, yang akan terus tampil di masa depan dengan berbagai nama.

Ecclesia Reformata Semper Reformanda

Frasa ini kurang lebih berarti gereja yang diperbarui hendaknya terus-menerus memperbarui diri. Proses memperbarui diri, sejatinya berlangsung terus-menerus, termasuk bagi mereka yang merasa dirinya sudah pernah diperbarui.
Hal yang menyedihkan adalah menemukan diri berada dalam posisi regresif. Tidak maju, tidak diam di tempat, tetapi mundur. Bukan soal permainan kata antara progresif, konservatif atau regresif, tetapi fenomena KP memberi kesempatan melihat, di mana posisi kita sekarang? Bukankah hal yang menyedihkan jika menemukan diri dalam kemunduran, sementara hidup adalah sebuah proses maju belajar tanpa akhir?